Peraturan dan Regulasi (2)

Undang-Undang No.19 Tentang Hak Cipta

 

Indonesia telah memiliki Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) yang memberikan perlindungan atas kekayaan intelektual, termasuk di dalamnya adalah program-program komputer. UUHC telah beberapa kali disempurnakan, yaitu mulai dari UU No.6/1982, diubah dengan UU No.7 Tahun 1987, kemudian diubah dengan UU No. 12/1997 dan yang terakhir diubah dengan UU No.19/2002. Undang-undang No.19 tentang Hak Cipta ini, terdiri dari 15 Bab dan 78 Pasal.

–       Ketentuan Umum

Ketentuan umum mengenai hak cipta diatur dalam Undang-Undang No. 19 tentang Hak Cipta BAB I pasal 1, yang isinya:

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.         Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.         Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

3.         Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.

4.         Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.

5.         Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.

6.         Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

7.         Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa pun.

8.         Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.

9.         Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.

10.      Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.

11.      Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya.

12.      Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik.

13.      Permohonan adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh pemohon kepada Direktorat Jenderal.

14.      Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

15.      Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang ini.

16.      Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan Intelektual, termasuk Hak Cipta.

17.      Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.

–    Lingkup Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta diatur dalam Undang-Undang No. 19 tentang Hak Cipta pada BAB II, yang terdiri dari beberapa bagian, diantaranya:

BAB II

LINGKUP HAK CIPTA

Bagian Pertama : Mengenai Fungsi dan Sifat Hak Cipta, yang diatur dalam Pasal 2, 3, dan 4.

Bagian Kedua : Mengenai Pencipta, yang diatur dalam Pasal 5-9.

Bagian Ketiga : Mengenai Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui, yang diatur dalam Pasal 10 dan 11.

Bagian Keempat : Mengenai Ciptaan yang dilindungi, yang diatur dalam Pasal 12 dan 13.

Bagian Kelima : Mengenai Pembatasan hak cipta, yang diatur dalam Pasal 14-18.

Bagian Keenam : Mengenai Hak Cipta atas Potret, yang diatur dalam Pasal 19 dan 23.

Bagian Ketujuh : Mengenai Hak Moral, yang diatur dalam Pasal 24,25, dan 26.

Bagian Kedelapan : Mengenai Sarana Kontrol teknologi, yang diatur dalam Pasal 27 dan 28.

–    Perlindungan Hak Cipta

Perlindungan Hak Cipta diatur dalam Undang-Undang No. 19 tentang Hak Cipta BAB II   Bagian Ketiga pasal 10 dan 11 & Keempat pasal 12 dan 13, yang isinya:

Bagian Ketiga

Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui

Pasal 10

(1)  Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.

(2)  Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

(3)  Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.

(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1)  Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

(2)  Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

(3)  Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

Bagian Keempat

Ciptaan yang Dilindungi

Pasal 12

(1)  Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b.  ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

c.   alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d.  lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e.  drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f.   seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

g.   arsitektur;

h.  peta;

i.   seni batik;

j.   fotografi;

k.  sinematografi;

l.   terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudkan.

(2)  Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.

(3)  Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.

Pasal 13

Tidak ada Hak Cipta atas:

a.  hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;

b.  peraturan perundang-undangan;

c.  pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;

d.  putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau

e.  keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

–    Pembatasan Hak Cipta

Pembatasan Hak Cipta diatur dalam Undang-Undang No. 19 tentang Telekomunikasi BAB II Bagian Kelima pasal 14 – 18, yang isinya:

Bagian Kelima

Pembatasan Hak Cipta

Pasal 14

Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:

a.  Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;

b.  Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau

c.  Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Pasal 15

Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:

a.  penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;

b.  pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan

pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;

c.  pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:

i.  ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau

ii.  pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak

merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.

d.  Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;

e.  Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;

f.  perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;

g.  pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Pasal 16

(1)  Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat:

a.  mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;

b.  mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c.  menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.

(2)  Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(3)  Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:

a.  3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;

b.  5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;

c.  7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.

(4)  Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.

(5)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(6)  Ketentuan tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 17

Pemerintah melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.

Pasal 18

(1)  Pengumuman suatu Ciptaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk kepentingan nasional melalui radio, televisi dan/atau sarana lain dapat dilakukan dengan tidak meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.

(2)  Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.

–    Proses Pendaftaran HAKI

Proses pendaftaran HAKI diatur dalam Undang-Undang No. 19 tentang Hak Cipta BAB IV pasal 35 – 44, yang isinya:

BAB IV

PENDAFTARAN CIPTAAN

Pasal 35

(1)    Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.

(2)    Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.

(3)    Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.

(4)    Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.

Pasal 36

Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang didaftar.

Pasal 37

(1)    Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau Kuasa.

(2)    Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan atau penggantinya dengan dikenai biaya.

(3)    Terhadap Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.

(4)    Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.

(5)    Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat diangkat dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

(6)    Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara Permohonan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 38

Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan hukum yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan tertulis yang membuktikan hak tersebut.

Pasal 39

Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:

a.  nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;

b.  tanggal penerimaan surat Permohonan;

c.  tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan

d.  nomor pendaftaran Ciptaan.

Pasal 40

(1)    Pendaftaran Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya Permohonan oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut Pasal 37, atau pada saat diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut Pasal 37 dan Pasal 38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau satu badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.

(2)    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.

Pasal 41

(1)    Pemindahan hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar menurut Pasal 39 yang terdaftar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika seluruh Ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima hak.

(2)    Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan dikenai biaya.

(3)    Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.

Pasal 42

Dalam hal Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta dapat mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.

Pasal 43

(1)    Perubahan nama dan/atau perubahan alamat orang atau badan hukum yang namanya tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan tertulis Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama dan alamat itu dengan dikenai biaya.

(2)    Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.

Pasal 44

Kekuatan hukum dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:

a.       penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;

b.       lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;

c.       dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

Untuk mengetahui tentang UU No.19 tentang Hak Cipta, silahkan Klik Disini

 


 Undang-Undang No.36 tentang Telekomunikasi


Undang-undang tentang Telekomunikasi sebelumnya adalah UU No.3 tahun 1989 namun karena dipandang tidak sesuai lagi, sehingga diganti/diubah dengan UU No.36 tahun 1999. Undang-undang No.36 tentang Telekomunikasi, terdiri dari 9 Bab dan 64 Pasal.

 

–       azas & tujuan telekomunikasi

Azas & Tujuan telekomunikasi diatur dalam Undang-Undang No. 36 tentang Telekomunikasi BAB II pasal 2 & 3, yang isinya:

Pasal 2

Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan  kepercayaan pada diri sendiri.

  BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakm uran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.

 

   Penyelenggaraan Telekomunikasi

Penyelenggaraan telekomunikasi diatur dalam Undang-Undang No. 19 tentang Telekomunikasi BAB IV, yang terdiri dari beberapa bagian, diantaranya:

BAB IV

PENYELENGGARAAN

Bagian Pertama → Mengenai Umum, yang diatur dalam Pasal 7.

Bagian Kedua → Mengenai Penyelenggara, yang diatur dalam Pasal  8 dan 9.

Bagian Ketiga → Mengenai Larangan Praktek Monopoli, yang diatur dalam Pasal 10 .

Bagian Keempat → Mengenai Perizinan, yang diatur dalam Pasal 11.

Bagian Kelima → Mengenai Hak dan Kewajiban penyelenggara dan masyarakat, yang diatur dalam Pasal 12-22.

Bagian Keenam → Mengenai Penomoran, yang diatur dalam Pasal 23 dan 24.

Bagian Ketujuh → Mengenai Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan , yang diatur dalam Pasal 25 dan 26.

Bagian Kedelapan → Mengenai tarif, yang diatur dalam Pasal 27 dan 28.

Bagian Kesembilan → Mengenai telekomunikasi khusus, yang diatur dalam Pasal 29, 30, dan 31.

Bagian Kesepuluh → Mengenai Perangkat Telekomunikasi Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit, yang diatur dalam Pasal 32 dan 37.

Bagian Kesebelas → Mengenai Pengamanan Telekomunikasi, yang diatur dalam Pasal 38 dan 43.

    penyidikan

Penyidikan telekomunikasi diatur dalam Undang-Undang No. 36 tentang Telekomunikasi BAB V pasal 44, yang isinya:

BAB V

PENYIDIKAN

Pasal 44

(1)     Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

(2)    Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) berwenang:

a.       melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

b.       melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

c.       menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

d.       memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka

e.       melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

f.       menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

g.       menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

h.       meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi, dan

i.        mengadakan penghentian penyidikan.

(3)    Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.

–       Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana

Sanksi administrasi diatur dalam Undang-Undang No. 36 tentang Telekomunikasi BAB VI pasal 45 & 46, yang isinya:

BAB VI

SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 45

Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasa l 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.

Pasal 46

(1)    Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.

(2)    Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ay at (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.

 

Ketentuan Pidana diatur dalam Undang-Undang No. 36 tentang Telekomunikasi BAB VII pasal 47-59, yang isinya:

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 47

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 48

Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 49

Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 50

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 51

Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 52

Barang siapa memperdagangkan. membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan

perangkat telekomunikasi di wilayah Negara  Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 32 ayat (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 53

(1)         Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2)         Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 54

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 55

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 56

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 57

Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 58

Alat dan perangkat telekomunikasi yang di gunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 59

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,

Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.

Untuk mengetahui tentang UU No.36 tentang Telekomunikasi, silahkan Klik Disini

 

Undang-Undang tentang Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)

RUU tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) peraturan lain yg terkait (peraturan bank indonesia tentang internet banking )

Internet banking merupakan layanan perbankan yang memiliki banyak sekali manfaatnya bagi pihak bank sebagai penyedia dan nasabah sebagai penggunanya. Transaksi melalui media layanan internet banking dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Melalui internet banking, layanan konvensional bank yang komplek dapat ditawarkan relatif lebih sederhana, efektif, efisien dan murah. Internet banking menjadi salah satu kunci keberhasilan perkembangan dunia perbankan modern dan bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa dengan internet banking, keuntungan(profits) dan pembagian pasar (marketshare) akan semakin besar dan luas. Namun, meskipun dunia perbankan memperoleh manfaat dari penggunaan internet banking, terdapat pula resiko-resiko yang melekat pada layanan internet banking, seperti resiko strategik, resiko reputasi, resiko operasional termasuk resiko keamanan dan resiko hukum, resiko kredit, resiko pasar dan resiko likuiditas. Oleh sebab itu, Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas kegiatan perbankan di Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Manajemen Resiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum agar setiap bank yang menggunakan Teknologi Informasi khususnya internet banking dapat meminimalisir resiko-resiko yang timbul sehubungan dengan kegiatan tersebut sehingga mendapatkan manfaat yang maksimal dari internet banking.

Upaya yang dilakukan Bank Indonesia untuk meminimalisir terjadinya kejahatan internet fraud di perbankan adalah dengan dikeluarkannya serangkaian peraturan perundang-undangan, dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE), yang mewajibkan perbankan untuk menerapkan manajemen risiko dalam aktivitas internet banking, menerapkan prinsip mengenal nasabah/Know Your Customer Principles (KYC), mengamankan sistem teknologi informasinya dalam rangka kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.

Lebih lanjut, dalam rangka memberikan payung hukum yang lebih kuat pada transaksi yang dilakukan melalui media internet yang lebih dikenal dengan cyber law maka perlu segera dibuat Undang-Undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang mengenai Transfer Dana (UU Transfer Dana). Dengan adanya kedua undang-undang tersebut diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrimes termasuk mencegah kejahatan internet fraud.

Sumber Referensi:

http://pjj.eepis-its.edu/file.php/1/moddata/forum/3/366/Etika_20Profesi_20_20BP_ cetak _1_. pdf

Klik untuk mengakses uun0192002hakcipta.pdf

Klik untuk mengakses telekomunikasiok.pdf

http://haikalgimez.blogspot.com/2010/05/7-peraturan-bank-indonesia-tentang.html

Tinggalkan komentar